BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan HAM di Eropa (Ubaedillah. A
dkk.2008)
1. Sebelum
Deklarasi Universal HAM 1948
Para
ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa.
Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban eropa muncul, HAM telah populer
dimasa kejayaan islam. Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya magna
charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan
absolut raja, seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan
yang mereka buat, menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggung
jawabkan secara hukum. Sejak lahirnya magna charta pada tahun 1215, raja yang
melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan
pemerintahannya di hadapan parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat
dominan dalam hal pembuatan undang-undang, magna charta telah menyulut ide
tentang keterikakatan penguasa kepada hukum dan pertanggung jawaban kekuasaan
mereka kepada rakyat.
Lahirnya
magna charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional keterikatan
penguasa dengan hukum dapat dilihat pada pasal 21 magna charta yang menyatakan
bahwa “...para pangeran dan baron dihukum atau didenda berdasarkan atas
kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.” Sedangkan pada
pasal 40 ditegaskan bahwa “...tak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau
menunda hak atau keadilan.”
Empat
abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir undang-undang hak asasi manusia (HAM)
di Ingris. Pada masa itu pula muncul istilah equality befor the law, kesetaraan
manusia dimuka hukum. Pandangan ini mendorang timbulnya wacana negara hukum dan
negara demikrasi pada kurun waktu selanjutnya. Menurut bill of Rights, asas
persamaan manusia dihadapan hukum harus diwujudkan betapapun berat rintangan
yang dihadapi, karna tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat
terwujud. Untuk mewujukan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara
tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan
perkembangan dan karakter masyarakat eropa, dan selanjutnya Amerika: kontrak
sosial (J.J.Rousseau), trias politica (montesquieu), teori hukum kodrati (John
Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas jefferson).
Teori
kontak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara penguasa dan
rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua
belah pihak. Menurut kontrak sosial, penguasa diberi kekuasaan oleh rakyat
untuk menyelenggarakan ketertiban dan menciptakan keamanan agar hak alamiyah
manusia terjamin dan terlaksana secara aman. Pada saat yang sama, rakyat akan
menaati penguasa mereka sepanjang hak-hak alamiyah mereka terjamin.
Trias
politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi kekuasaan
pemerintahaan negara dalam tiga komponen: pemerintah (eksekutif), parlemen
(legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).
Teori
hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa di dalam masyarakat manusia
ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negar dan tidak
diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar ini bahkan harus
dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak.
Hak-hak tersebut terdiri atas hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak
atas milik pribadi.
Hak-hak
dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan bahwa semua manusia
dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugerahi beberapa hak yang tidak
terpisah-pisah, diantaranya hak kebebasan dan tuntutan kesenangan. Teori ini
dipengaruhi oleh Locke sekaligus menandai perkembangan HAM kemudian.
Pada
1789, lahir deklarasi prancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang
menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan
penahanan seseorang secara sewanang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang.
Prinsip presumption of inosentadalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap
tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh
prinsip-prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
beragama, perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan
HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia di
Amerika Serikat pada 6 januari 1941, yang diproklamirkan oleh presiden Theodore
Roosevelt. Keempak hak itu adalah hak kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang dipeluknya, han bebas dari kemiskinan, dan hak bebas dari rasa takut.
Tiga
tahun kemudian, dalam konverensi buruh internasional di philadelphia, Amerika
serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi Philadelphia 1944 ini
memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan
perlindungan seluruh manusia apapun ras, kepercayaan, dan jenis kelaminya.
Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM yang menyerukan jaminan setiap orang
untuk mengejar pemenuhan kebutuhan material dan spiritual secara bebas dan
bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak
tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan deklarasi universal HAM yang
dikukuhkan oleh PBB dalam universal deklaraton of human Rights pada tahun 1948.
Menurut
deklarasi universal HAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh
setiap individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak
jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak
jaminan adanya sumberdaya untuk menunjang kehidupan) dan hak ekonomi, sosial,
dan budaya.
Menurut
pasal 3 sampai 21 deklarasi universal HAM, hak personal, hak legal, hak sipil,
dan politik meliputi :
a.
Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan
pribadi;
b.
Hak bebas dari perbudakan dan
penghambaan;
c.
Hak bebas dari penyksaan atau perlakuan
maupun hukuman yang kejam, tak berperi kemanusiaan ataupun merendahkan derajat
kemanusiaan;
d.
Hak untuk memperoleh pengakuan hukum
dimana saja secara pribadi;
e.
Hak untuk pengampunan hukum secara
evektif ;
f.
Hak bebas dari penangkapan, penahanan,
atau pembuangan yang sewenang-wenang;
g.
Hak untuk peradilan yang independen yan
tidak memihak;
h.
Hak untuk praduga tak bersalah sampai
terbukti bersalah;
i.
Hak bebas dari campur tangan yang
sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun
surat-surat;
j.
Hak bebas dari serangan terhadap
kehormatan dan nama baik;
k.
Hak atas perlindungan hukum terhadap
serangan semacam itu;
l.
Hak bergerak;
m.
Hak memperoleh suaka;
n.
Hak atas satu kebangsaan;
o.
Hak untuk menikah dan membentuk
keluarga;
p.
Hak untuk mempunyai hak milik;
q.
Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan
beragama;
r.
Hak bebas berpikir dan menyatakan
pendapat;
s.
Hak untuk berhimpun dan berserikat; dan
t.
Hak untuk mengambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, dan
budaya meliputi:
a. Hak
atas jaminan sosial;
b. Hak
untuk bekerja;
c. Hak
atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
d. Hak
untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
e. Hak
atas istirahat dan waktu senggang;
f. Hak
atas standar hidup yang pantas dibidang kesehatan dan kesejahteraan;
g. Hak
atas pendidikan; dan
h. Hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
2. Setelah
Deklarasi Universal HAM 1948
Secara
garis besar, perkembangan pemikiran tentang HAM pasca perang dunia II dibagi
menjadi empat (4) kurun generasi.
Generasi
pertama. Menurut generasi ini pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum
dan politik. Dampak perang duni II sangat mewarnai pemikiran generasi ini,
dimana totaliterisme dan munculnya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk
menciptakan tertib hukum yang baru sangat kuat. Seperangkat hukum yang
disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak
untuk tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan
dan keadilan dalam proses hukum, hak praduga tidak bersalah, dan sebagainya.
Selain dari hak-hak tersebut, hak nasionalitas, hak kepemilikan, hak pemikiran,
hak beragamahak pendidikan, hak pekerjaan dan kehidupan budaya juga mewarnai
pemikiran HAM generasi pertama ini.
Generasi
kedua. Pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis seperti yang
dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini, lahir duan konvensi HAM
internasional dibidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta konvensi bidang sipil
dan hak-hak politik sipil (international covenant on economic, social, and
cultural rights dan international covenant on civil and political rights). Kedua
konvensi tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.
Generasi
ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak ekonomi, sosial,
budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal dengan
istilah hak-hak melaksanakan pembangunan (the rights of development),
sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan Internasional (international
comission of justice). Pada era generasi ketiga ini peranan negara tampak
begitu dominan.
Generasi
keempat. Di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM. Pemikiran HAM
generasi keempat dipelopori oleh negara-negara dikawasan Asia yang pada tahun
1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration Of the Basic
Duties of Asia People and Goverment. Lebih maju dari generasi sebelumnya,
deklarasi ini tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga menyerukan
terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak
asasi, Deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi
yang harus dilakukan oleh setiap negara. Secara positif deklarasi ini
mengukuhkan keharusan imperatif setap negara untuk memenuhi hak asasi
rakyatnya. Dalam kerangka ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi
manusia bukan saja urusan orang-perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan
tanggung jawab negara. (Ubaedillah. A dkk.2008)
B. Perkembangan HAM di Indonesia
Wacana
HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dnegan berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di
Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan (1908-1945)
dan sesudah kemerdekaan.
1. Periode
sebelum kemerdekaan 1908-1945
Pemikiran HAM dalam periode sebelum
kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan
nasional, seperti Boedi Oetomo (1908),
Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia
(1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927).
Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, dan
pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.
Puncak perdebatan HAM yang
dilontarkan oleh para tokoh pergerakan nasional, seperti Soekarno, Agus Salim,
Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H. Mas Mansur, K.H. Wachid Hasyim, Mr.
Maramis, terjadi dalam siding-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dalam siding-sidang BPUPKI tersebut para tokoh nasional
berdebat dan berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan
Negara yang menjamin hak dan kewajiban Negara dan warga Negara dalam Negara
yang hendak diplokramirkan.
Dalam sejarah pemikiran HAM di
Indonesia, Boedi Oetomo mewakili organisasi pergerakan nasional mula-mula yang
menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui
petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah colonial maupun lewat tulisan di
surat kabar. Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep
perwakilan rakyat. Sejalan dengan wacana HAM yang diperjuangkan Boedi Oetomo,
para tokoh Perhimpunan Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak,
Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM melalui wacana hak
menentukan nasib sendiri masyarakat terjajah.
Diskursus HAM terjadi pula di
kalangan tokoh pergerkana Sarekat Islam seperti Tjokro Aminoto, H. Samanhudi,
Agus Salim. Mereka menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh
penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang
dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda dengan pemikiran HAM di kalangan tokoh
nasionalis sekuler, para tokoh Sarekat Islam mendasari perjuangan pergerakannya
pada prinsip-prinsip HAM dalam ajaran islam.
2. Periode
setelah kemerdekaan
Perdebatan
tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan indonesia;
1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia
kontemporer (pasca Orde Baru).
a. Periode
1945-1950
Pemikiran
HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk
merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di
parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada;
1) Bidang
sipil dan politik, melalui:
·
UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, pasal 27,
pasal 28, pasal 29, pasal 30, penjelasan pasal 24 dan 25)
·
Maklumat pemerintah 1 November 1945
·
Maklumat pemrintah 3 November 1945
·
Maklumat pemerintah 14 November 1945
·
KRIS, khususnya Bab V Pasal pasal 7-33
·
KUHP pasal 99
2) Bidang
ekonomi, sosial, dan budaya, melaui:
·
UUD 1945 (pasal 27, pasal 31, pasal 33,
pasal 34, penjelasan pasal 31-32)
·
KRIS pasal 36-40
b. Periode
1950-1959
Periode
1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer. Sejarah pemikiran HAM pada
masa ini dicata sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM
di Indonesia.
Sejalan
dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat tempat
dalam kehidupan politik nasional. Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang
sejarah HAM di Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
1) Munculnya
partai-partai politik dengan beragam ideologi
2) Adanya
kebebasan pers
3) Pelaksanaan
pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis
4) Kontrol
parlemen atas eksekutif
5) Perdebatan
HAM secara bebas dan demokratis
Berbagai
partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang substansi HAM
universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan diusulkan supaya
keberadaan HAM mendahuluai bab-bab UUD.
Tercatat
pada periode ini indonesia meratifikasi dua konvensi internasional HAM, yaitu:
a) Konvensi
genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan
perang, dan perlindungan sipil diwaktu perang
b) Konvensi
tentang hak politik perempuan yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan
dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati jabatan
publik.
c. Periode
1959-1966
Periode
ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh sistem
Demokrasi terpimpin tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno
terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai produk barat.
Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa
indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Melalui
sistem Demokrasi Terpimpin kekuaaan terpusat ditangan presiden. Presiden tidak
dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden.
Kekuasaan presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai
Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat
individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara.
Semua
pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi
pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya,
lembaga selain Lekra dianggap anti pemerintahan atau kontra-revolusi.
d. Periode
1966-1998
Pada
mulanya,lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di
Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Namun pada
kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di
Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapatkan
mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan
watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti-HAM yang dianggapnya sebagai produk
barat.
Sikap
anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak menolak prinsip dan praktik Demokrasi
Parlemente, yakni sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi dan
prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya
dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk Barat
yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan
kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir penolakan
pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
a) HAM
adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b) Bangsa
Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan
UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM.
c) Isu
HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia
Apa
yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru,tetapi juga tidak
pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata sarat
dengan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pelanggaran HAM orde baru dapat
dilihat dari kebijakan politik Orde Baru yang bersifat sentralistik dan anti
segala gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah sepanjang pemerintahan
Presiden Soeharto tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan
yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan
bahkan anti- pancasila.
Melalui
pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan
dengan prinsip-prinsip HAM ,pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menumpas
segala aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan dengan Orde Baru. Kasus
pelanggaran HAM Tanjung Priok,Kedung Ombo, Lampung,Aceh adalah segelintir
daftar pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh penguasa Orde Baru.
Di
tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh kalangan
organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM). Upaya penegakan
HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang menggembirakan
diawal 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan masyarakat mengubah
pendirian pemerintah Orde Baru untuk bersikap lebih akomodatif terhadap
tuntutan HAM. Satu diantara sikap akomodatif pemerintah tercermin dalam
persetujuan pemreintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) melalui keputusan Presiden (Keppres).
Kehadiran
Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM,memberi
pendapat,pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945. Sayangnya,sebagai lembaga bentukan pemerintah Orde Baru penegakan
HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh negara.
Sikap
akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratifikasi konvensi
HAM : (1) konvensi tentang pengahpusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,melalui UU No. 7 tahun 1984 ;(2)
konvensi anti-apartheid dalam olahraga,melalui UU No. 48 tahun 1993 ; dan (3)
konvensi hak anak ,melalui keppres No. 36 tahun 1990 .
Namun
demikian, sikap akomodatif pemerintah orde baru terhadap tuntutan HAM
masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara.
Komitmen orde baru terhadap pelaksanaan HAM secara murni dan konsekuenmasih
jauh dari harapan masyarakat. Masa pemerintah orde baru masih sarat dengan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara atas warga negara.
Akumulasi
pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur
Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok
reformasi dan mahasiswa pada tahun 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan
kekuasaan mewarnaituntutan reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin
Rais, tokoh intelektual muslem indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan
pemerintah Orde Baru.
e. Periode
Pasca Orde Baru
Tahun
1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya
tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus memadai berakhirnya rezim militer di
Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun
lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini presiden Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden RI.
Menyusul
berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan pemerintah
Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok
reformasi dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung
prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyaraakatan.tak kala
penting dari perubahan perundangan, pemerintah di Era reformasi ini juga
melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional untuk mendukung
pelaksanaan HAM di Indonesia. Pada masa pemerintahan Habibi misalnya, perhatian
pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat
signifikan. Lahirnya Tab MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan merupakan
salah satu indikator keseriusan pemerintahan era reformasi akan penegakan HAM.
Sejumlah
konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi HAM tentang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; konvensi menentang
penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi penghapusan segala segala bentuk
diskriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum
untuk diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan
pemerintahan B.J.Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan
pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah rencana aksi nasional HAM,
pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu: (1)
persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM; (2) diseminasi
informasi dan pendidikan bidang HAM; (3) penentuan skala prioritas pelaksanaan
HAM; (4) pelaksanaan isi perangkat Internasional di bidang HAM yang telah
diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
Komitmen
pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU tentang
HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung dengan
Depertemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM,
penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM dalam Amandemen UUD 1945, penerbitan
inpres tentang pengarusutamaan gender dalampembangunan nasional, pengesahan UU
tentang pengadilan HAM.
Tahun
2001, indonesia juga menandatangani dua protokol hak anak, yakni protokol yang
terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian,
pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya
tentang perlindungan anak, pengesahan, tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM
Indonesia tahun 2004-2009. (Ubaedillah. A dkk.2008)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wacana
awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya magna charta tahun 1215 yang
membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Raja yang melanggar
aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan
pemerintahannya di hadapan parlemen. Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689,
lahir undang-undang hak asasi manusia (HAM) di Ingris. Pada masa itu pula muncul
istilah equality befor the law, kesetaraan manusia dimuka hukum. Pandangan ini
mendorang timbulnya wacana negara hukum dan negara demikrasi pada kurun waktu
selanjutnya. Pada 1789, lahir deklarasi prancis. Deklarasi ini memuat
aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti
larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewanang-wenang tanpa
alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh
lembaga hukum yang berwenang.
Wacana
HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dnegan berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di
Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan (1908-1945)
dan sesudah kemerdekaan. Pemikiran
HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan
organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912),
Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional
Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial,
penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah. Perdebatan
tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan indonesia;
1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia
kontemporer (pasca Orde Baru).
B. Saran
Setiap
manusia sejak lahir telah memiliki hak masing-masing yang tidak dapat diganggu
gugat malah harus dilindungi, karena itu merupakan hak dasar yang telah melekat
dalam diri manusia yang Tuhan berikan. Oleh karena itu kita sebagai warga
negara yang baik harus saling menghargai tiap hak-hak orang lain, ini pun harus
menjadi salah satu pegangan bagi suatu bangsa atau negara apabila ingin
menciptakan atau mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Akan tetapi
tidak sepatutnya kita menggunakan HAM sebagai alasan dalam menempuh jalur hukum
pada hal-hal yang sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara
kekeluargaan atau musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA
Ubaedillah. A
dkk.2008.Pendidikan Kewargaan (Civic
Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani Edisi Ketiga.
Kencana Prenada Media Group:Jakarta