Selasa, 20 Desember 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN HAM DI EROPA DAN INDONESIA



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan HAM di Eropa (Ubaedillah. A dkk.2008)
1.      Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban eropa muncul, HAM telah populer dimasa kejayaan islam. Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya magna charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja, seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat, menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggung jawabkan secara hukum. Sejak lahirnya magna charta pada tahun 1215, raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan undang-undang, magna charta telah menyulut ide tentang keterikakatan penguasa kepada hukum dan pertanggung jawaban kekuasaan mereka kepada rakyat.
Lahirnya magna charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada pasal 21 magna charta yang menyatakan bahwa “...para pangeran dan baron dihukum atau didenda berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.” Sedangkan pada pasal 40 ditegaskan bahwa “...tak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau menunda hak atau keadilan.”
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir undang-undang hak asasi manusia (HAM) di Ingris. Pada masa itu pula muncul istilah equality befor the law, kesetaraan manusia dimuka hukum. Pandangan ini mendorang timbulnya wacana negara hukum dan negara demikrasi pada kurun waktu selanjutnya. Menurut bill of Rights, asas persamaan manusia dihadapan hukum harus diwujudkan betapapun berat rintangan yang dihadapi, karna tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk mewujukan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan perkembangan dan karakter masyarakat eropa, dan selanjutnya Amerika: kontrak sosial (J.J.Rousseau), trias politica (montesquieu), teori hukum kodrati (John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas jefferson).
Teori kontak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara penguasa dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Menurut kontrak sosial, penguasa diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan ketertiban dan menciptakan keamanan agar hak alamiyah manusia terjamin dan terlaksana secara aman. Pada saat yang sama, rakyat akan menaati penguasa mereka sepanjang hak-hak alamiyah mereka terjamin.
Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi kekuasaan pemerintahaan negara dalam tiga komponen: pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).
Teori hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa di dalam masyarakat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negar dan tidak diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak-hak tersebut terdiri atas hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi.
Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan bahwa semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugerahi beberapa hak yang tidak terpisah-pisah, diantaranya hak kebebasan dan tuntutan kesenangan. Teori ini dipengaruhi oleh Locke sekaligus menandai perkembangan HAM kemudian.
Pada 1789, lahir deklarasi prancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewanang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang. Prinsip presumption of inosentadalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia di Amerika Serikat pada 6 januari 1941, yang diproklamirkan oleh presiden Theodore Roosevelt. Keempak hak itu adalah hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, han bebas dari kemiskinan, dan hak bebas dari rasa takut.
Tiga tahun kemudian, dalam konverensi buruh internasional di philadelphia, Amerika serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi Philadelphia 1944 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras, kepercayaan, dan jenis kelaminya. Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan material dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan deklarasi universal HAM yang dikukuhkan oleh PBB dalam universal deklaraton of human Rights pada tahun 1948.
Menurut deklarasi universal HAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumberdaya untuk menunjang kehidupan) dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut pasal 3 sampai 21 deklarasi universal HAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi :
a.       Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi;
b.      Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
c.       Hak bebas dari penyksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperi kemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
d.      Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
e.       Hak untuk pengampunan hukum secara evektif ;
f.       Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan yang sewenang-wenang;
g.      Hak untuk peradilan yang independen yan tidak memihak;
h.      Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;
i.        Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat;
j.        Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
k.      Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
l.        Hak bergerak;
m.    Hak memperoleh suaka;
n.      Hak atas satu kebangsaan;
o.      Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
p.      Hak untuk mempunyai hak milik;
q.      Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama;
r.        Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
s.       Hak untuk berhimpun dan berserikat; dan
t.        Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi:
a.       Hak atas jaminan sosial;
b.      Hak untuk bekerja;
c.       Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
d.      Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
e.       Hak atas istirahat dan waktu senggang;
f.       Hak atas standar hidup yang pantas dibidang kesehatan dan kesejahteraan;
g.      Hak atas pendidikan; dan
h.      Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
2.      Setelah Deklarasi Universal HAM 1948
Secara garis besar, perkembangan pemikiran tentang HAM pasca perang dunia II dibagi menjadi empat (4) kurun generasi.
Generasi pertama. Menurut generasi ini pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak perang duni II sangat mewarnai pemikiran generasi ini, dimana totaliterisme dan munculnya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum yang baru sangat kuat. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan dan keadilan dalam proses hukum, hak praduga tidak bersalah, dan sebagainya. Selain dari hak-hak tersebut, hak nasionalitas, hak kepemilikan, hak pemikiran, hak beragamahak pendidikan, hak pekerjaan dan kehidupan budaya juga mewarnai pemikiran HAM generasi pertama ini.
Generasi kedua. Pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini, lahir duan konvensi HAM internasional dibidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil (international covenant on economic, social, and cultural rights dan international covenant on civil and political rights). Kedua konvensi tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.
Generasi ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan (the rights of development), sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan Internasional (international comission of justice). Pada era generasi ketiga ini peranan negara tampak begitu dominan.
Generasi keempat. Di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration Of the Basic Duties of Asia People and Goverment. Lebih maju dari generasi sebelumnya, deklarasi ini tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga menyerukan terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak asasi, Deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi yang harus dilakukan oleh setiap negara. Secara positif deklarasi ini mengukuhkan keharusan imperatif setap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam kerangka ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia bukan saja urusan orang-perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara. (Ubaedillah. A dkk.2008)

B.     Perkembangan HAM di Indonesia
Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dnegan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan.
1.      Periode sebelum kemerdekaan 1908-1945
Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo (1908),  Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.
Puncak perdebatan HAM yang dilontarkan oleh para tokoh pergerakan nasional, seperti Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H. Mas Mansur, K.H. Wachid Hasyim, Mr. Maramis, terjadi dalam siding-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam siding-sidang BPUPKI tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan Negara yang menjamin hak dan kewajiban Negara dan warga Negara dalam Negara yang hendak diplokramirkan.
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo mewakili organisasi pergerakan nasional mula-mula yang menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah colonial maupun lewat tulisan di surat kabar. Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Sejalan dengan wacana HAM yang diperjuangkan Boedi Oetomo, para tokoh Perhimpunan Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasib sendiri masyarakat terjajah.
Diskursus HAM terjadi pula di kalangan tokoh pergerkana Sarekat Islam seperti Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim. Mereka menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda dengan pemikiran HAM di kalangan tokoh nasionalis sekuler, para tokoh Sarekat Islam mendasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam ajaran islam.  
2.      Periode setelah kemerdekaan
Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan indonesia; 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer  (pasca Orde Baru).
a.       Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada;
1)      Bidang sipil dan politik, melalui:
·         UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, penjelasan pasal 24 dan 25)
·         Maklumat pemerintah 1 November 1945
·         Maklumat pemrintah 3 November 1945
·         Maklumat pemerintah 14 November 1945
·         KRIS, khususnya Bab V Pasal pasal 7-33
·         KUHP pasal 99
2)      Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melaui:
·         UUD 1945 (pasal 27, pasal 31, pasal 33, pasal 34, penjelasan pasal 31-32)
·         KRIS pasal 36-40
b.      Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer. Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicata sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia.
Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional. Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM di Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
1)      Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi
2)      Adanya kebebasan pers
3)      Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis
4)      Kontrol parlemen atas eksekutif
5)      Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis
Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan diusulkan supaya keberadaan HAM mendahuluai bab-bab UUD.
Tercatat pada periode ini indonesia meratifikasi dua konvensi internasional HAM, yaitu:
a)      Konvensi genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil diwaktu perang
b)      Konvensi tentang hak politik perempuan yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati jabatan publik.
c.       Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh sistem Demokrasi terpimpin tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai produk barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuaaan terpusat ditangan presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara.
Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, lembaga selain Lekra dianggap anti pemerintahan atau kontra-revolusi.
d.      Periode 1966-1998
Pada mulanya,lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti-HAM yang dianggapnya sebagai produk barat.
Sikap anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak menolak prinsip dan praktik Demokrasi Parlemente, yakni sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk Barat yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
a)      HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b)      Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM.
c)      Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru,tetapi juga tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pelanggaran HAM orde baru dapat dilihat dari kebijakan politik Orde Baru yang bersifat sentralistik dan anti segala gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah sepanjang pemerintahan Presiden Soeharto tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti- pancasila.
Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM ,pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan dengan Orde Baru. Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok,Kedung Ombo, Lampung,Aceh adalah segelintir daftar pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh penguasa Orde Baru.
Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh kalangan organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM). Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang menggembirakan diawal 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan masyarakat mengubah pendirian pemerintah Orde Baru untuk bersikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu diantara sikap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemreintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui keputusan Presiden (Keppres).
Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM,memberi pendapat,pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya,sebagai lembaga bentukan pemerintah Orde Baru penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.
Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratifikasi konvensi HAM :   (1) konvensi tentang pengahpusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,melalui UU No. 7 tahun 1984 ;(2) konvensi anti-apartheid dalam olahraga,melalui UU No. 48 tahun 1993 ; dan (3) konvensi hak anak ,melalui keppres No. 36 tahun 1990 .
Namun demikian, sikap akomodatif pemerintah orde baru terhadap tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara. Komitmen orde baru terhadap pelaksanaan HAM secara murni dan konsekuenmasih jauh dari harapan masyarakat. Masa pemerintah orde baru masih sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara atas warga negara.
Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformasi dan mahasiswa pada tahun 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnaituntutan reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual muslem indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru.
e.       Periode Pasca Orde Baru
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus memadai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden RI.
Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformasi dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyaraakatan.tak kala penting dari perubahan perundangan, pemerintah di Era reformasi ini juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. Pada masa pemerintahan Habibi misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirnya Tab MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintahan era reformasi akan penegakan HAM.
Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi HAM tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi penghapusan segala segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan pemerintahan B.J.Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah rencana aksi nasional HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu: (1) persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM; (2) diseminasi informasi dan pendidikan bidang HAM; (3) penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM; (4) pelaksanaan isi perangkat Internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung dengan Depertemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM dalam Amandemen UUD 1945, penerbitan inpres tentang pengarusutamaan gender dalampembangunan nasional, pengesahan UU tentang pengadilan HAM.
Tahun 2001, indonesia juga menandatangani dua protokol hak anak, yakni protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian, pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan anak, pengesahan, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun 2004-2009. (Ubaedillah. A dkk.2008)




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya magna charta tahun 1215 yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir undang-undang hak asasi manusia (HAM) di Ingris. Pada masa itu pula muncul istilah equality befor the law, kesetaraan manusia dimuka hukum. Pandangan ini mendorang timbulnya wacana negara hukum dan negara demikrasi pada kurun waktu selanjutnya. Pada 1789, lahir deklarasi prancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewanang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang.
Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dnegan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo (1908),  Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah. Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan indonesia; 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer  (pasca Orde Baru).


B.     Saran
Setiap manusia sejak lahir telah memiliki hak masing-masing yang tidak dapat diganggu gugat malah harus dilindungi, karena itu merupakan hak dasar yang telah melekat dalam diri manusia yang Tuhan berikan. Oleh karena itu kita sebagai warga negara yang baik harus saling menghargai tiap hak-hak orang lain, ini pun harus menjadi salah satu pegangan bagi suatu bangsa atau negara apabila ingin menciptakan atau mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Akan tetapi tidak sepatutnya kita menggunakan HAM sebagai alasan dalam menempuh jalur hukum pada hal-hal yang sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau musyawarah.

DAFTAR PUSTAKA
Ubaedillah. A dkk.2008.Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani Edisi Ketiga. Kencana Prenada Media Group:Jakarta